JIWA
NASIONALISMEKU MEMBARA DI ATAP TERTINGGI SUMATERA SELATAN
“Perjalanan turun antara
pintu rimba sampai titik awal pendakian seolah jalanan panjang yang tak pernah
berujung. Berjalan hanya sekitar setengah kilometer, namun seolah sudah
berjam-jam aku melalui jalan itu. Penyebab itu semua karena kebodohan dan kesombonganku
yang merasa seolah telah sering mendaki gunung. Safety procedure pendakian tak pandang bulu. Semakin kita
sering mendaki gunung seharusnya kita ebih paham apa yang boleh dan tak boleh
kita lakukan. Aku dengan jumawa dan kepala besar mendaki
gunung Dempo hanya beralaskan sendal gunung jepit gunung tanpa penopang di belakangnya. Ah sial, celana pendekku
sudah tak berbentuk lagi penuh dengan lumpur. Jangan tanya berapa banyak luka
yang aku dapati. Hampir sekujur tubuhku berasa memar dan perih dimana-mana
akibat terjatuh di jalanan licin antara pos pintu rimba sampai titik awal
pendakian..”
Gunung dempo gagah berdiri
ketika pagi sekali kami telah memulai pendakian dari pintu perkebunan teh milik
PTPN 7. Sisa kantuk semalam masih terasa di belakang mata. Wajar, tiba di
gerbang perkebunan ketika hari terlalu pagi, sekitar pukul 3 dini hari.
Perjalanan selama 6 jam dari Palembang serasa begitu melelahkan dengan kendaraan mini bus seperti
metromini kalau di Jakarta.
Senyenyak-nyenyaknya tidur di dalam kendaraan pasti tak pernah selelap
di atas kasur. Guncangan bus karena tak
sengaja melewati jalana berlubang, berhenti mendadak, dan teriakan kernet
karena telah tiba di salah satu tempat menjadikan tidur di dalam bus seolah
hanya tidur melek ayam.
Waktu yang dibutuhkan menuju
titik awal pendakian kampung IV sekitar 3 jam jika berjalan kaki, namun
beruntung di tengah perjalanan kami mendapat tumpangan pick up menuju persimpangan kampung II dan kampung IV. Meskipun
masih jauh menuju kampung IV setidaknya
kami bisa hemat tenaga sekitar satu jam.
Tiba di kampung IV kami disambut
oleh kabut tipis yang turun perlahan dari atas perbukitan. Perlahan hijaunya
perkebunan teh digantikan dengan putihnya kabut. Hawa sekitar menjadi terasa
sejuk. Namun, ketika berdiam diri saja tanpa melakukan aktivitas apapun badan
menggigil kedinginan. Kuambil jaket tipis dari dalam cariel lalu masuk warung bergabung dengan teman-teman yang lain.
Rencananya esok hari kita baru akan benar-benar melakukan pendakian menuju
puncak Dempo. “untuk sementara kita buat camp di resort gunung Dempo di samping kali!” tegas Wa Yeng yang menjadi leader dalam
pendakian kali ini.
Setelah mendirikan tenda dan
makan siang kami hanya mengahabiskan waktu dengan mengobrol ngalor-ngidul
bersama teman-teman pendaki yang lain. Ada yang spesial dalam prosesi makan
ketika di gunung yang biasa kita lakukan. Makan bersama di atas daun pisang
atau di atas selembaran plastik menjadi wajib dalam setiap pendakian kami.
Selain untuk lebih mempererat keakraban diantara kami juga bisa menghemat
piring dan tak perlu repot-repot untuk mencucinya.
Malam itu ribuan gemintang
mengintip di sela ranting-ranting pohon yang ada di sekitaran resort, dingin sudah pasti. Temanku
Taping membuat api unggun sedangkan aku hanya diam sambil menemani di balik
hangatnya selimut. Memang terlihat curang dan egois. Tapi dalam pendakian kali
ini aku berperan sebagai tamu. Hehe. Malam gelap dan dinginnya udara pegunungan
meninabobokan kami dalam kehangatan. Suara binatang-binatang malam yang
perlahan namun syahdu mengantar kami lebih jauh menuju alam mimpi.
Malam berlalu dan suara
burung-burung riuh menemani kami membuka mata. Sambil merentangkan badan dan
masih malas terbangun dalam kantuk, aku paksakan diriku keluar dari balik hangat tenda. Kuhirup udara pagi
itu sambil terpejam. Ribuan syukur menggemba dari balik hatiku dalam kebisuan.
“terima kasih tuhan atas keindahan ini” gumamku. Yang lain berangsur bangun dan pagi itu kami lewati dengan tugas
masing-masing. Tugasku pasti memasak dan
urusan dapur lainnya ditemani ketua Mapala Fakultas Pertanian Unsri, Cungkring. Yang lainnya berkemas dan merapikan perlengkapan yang
nanti akan dibawa. Sisanya
dititipkan di warung Ayah.
Perjalanan dari titik awal
pendakian menuju pintu rimba terlihat biasa layaknya trek pendakian
gunung-gunung di pulau Jawa. Masuk shelter satu trek
mulai menanjak dan becek oleh sisa hujan semalam. Hal ini terus sama terjadi sampai kami tiba
di shelter dua. Jalanan menanjak dengan sedikit jalanan datar
berulang terjadi. Hutan jenis hujan tropis yang lembab dan rapat menemani kami
di sepanjang
trek. Estimasi watu yang diperlukan untuk tiba di shelter cadas dari shelter
dua sekitar dua jam jika dalam kondisi prima. Namun, kita sebagai manusia hanya
bisa berencana. Belum sampai di cadas hujan jatuh dengan riuh dan lincahnya.
Kami terpaksa harus mendirikan flysheet
untuk menghindari hujan. Mungkin hal ini kaan memakan waktu karena kita
istirahat sampai hujan selesai turun. Ini lebih baik ketimbang kita terus berjalan tapi tak satupun
dari kami membawa jas hujan.
Tiba di cadas hari telah gelap. di belakang kami, indahnya kemerlip
lampu kota Pagar Alam seolah menjadi obat
pelepas lelah dan frustasi karena hampir dua jam lebih kita berjalan namun
belum jua menginjakan kaki di titik tertinggu gunung Dempo. Badan seolah lelah untuk berjalan, namun
semakin lama berdiam diri tubuh akan semakin dingin terhempas angin lembah yang
menusuk.
Tiba di puncak Dempo bukan menjadi tujuan
utama kami, setelah itu kita perlu berjalan turun sekitar sepuluh menit menuju Pelataran, tempat dimana
kami bisa mendirikan tenda dan mengambil air bersih untuk keperluan kami. Tepat pukul sembilan lebih tiga puluh menit waktu gunung Dempo kami tiba di Pelataran. Rasa dingin,
lelah, lapar bercampur aduk menjadi satu. Namun semakin malas kita bergerak,
dingin menggerogoti bagian tubuh kami secara perlahan.
Tenda berdiri dan makanan
pengganjal perut sudah tersaji. Satu persatu mengabil makan dengan piring lantas masuk kembali ke dalam karena enggan untuk keluar dari hangatnya tenda. Setelah selesai makan
aku masih berdiam di luar tenda depan kompor menyala bersama Gondrong. Yang lainnya telah berada
di dalam tenda dan mulai terdengar dengkuran halus dari salah satu tenda yang kami dirikan. Dini hari sekitar pukul tiga aku
masuk ke dalam tenda. Aku puaskan berlama-lama menatap koloni bintang yang
jumlahnya bermilyaran tanpa gangguan polusi udara maupun polusi cahaya dari
perkotaan. Meskipun dingin melanda sekujur tubuhku, namun rasa rindu untuk
berbincang secara imajiner dengan keindahan gugusan gemintang seolah lebih besar dan mengalahkan dingin.
Suasana malam di dalam dekapan
dingin tempat seindah pegunungan merupakan hal yang selalu aku nantikan. Gondrong telah masuk ke dalam tenda. Aku berdiam diri sendiri di depan tenda sambil menatap jauh ke atas galaksi
yang gelap, lagu-lagu syahdu dari band indie
Payung Teduh kusetel pelan sekali, agar hanya aku yang bisa
mendengarnya. Juga agar tak mengganggu kemeriahan malam yang sunyi itu.
Lamunanku
jauh menerobos waktu, sampai tiba di masa beberapa tahun ketika diriku masih
bersama dengan dia. Juga dalam suasana malam di atas ketinggian. Jemari kita
saling menggenggam, mata kita sibuk melihat jauh ke atas. Meskipun kedua pasang
mata kita tak bertatap namun sesungguhnya tatap kita bertemu di sana, di celah gemintang yang
gelap. Perlahan ia rebah di pundakku, harum farfumnya menerobos masuk ke dalam
otakku melalui indera hidungku. Ketika aku tersadar aku hanya berteman sepi.
Berteman nyanyian angin malam dan sayup lagu Payung Teduh. Oh tuhan, sungguh indah masa-masa itu.
***
Bergegas kami berkumpul di
tengah tiang bendera kecil berukuran 2 x 1 meter di Pelataran gunung Dempo.
Teman-teman lain sudah berteriak memanggil teman-teman yang lain untuk segera
berkumpul, naas yang berkumpul dan mendekat ke arah tiang bendera hanya
beberapa saja. “ayo bang kita upacara, setahun sekali doang bang, kapan lagi!!!” teriakku
sambil berlari ke arah kerumunan. Nihil, tak juga bertambah kerumunan itu.
Hanya beberapa orang yang medekat. Sisanya malah sedang asyik di depan tendanya
masing-masing. Ada juga beberapa rombongan yang bermain gitar di depan tenda mereka, hatiku
miris dan sedih.
Pemimpin upacara menyiapkan
barisan kemudian disusul oleh pembina upacara. Bagian
demi bagian dalam upacara kami lalui. Pembacaan UUD 1945, pancasila, teks
proklamasi, sampai tiba saatnya kami menyanyikan lagu indonesia raya.
Indonesia raya merdeka, merdeka
Tanahku
negeriku yang kucinta,
Indonesia raya merdeka, merdeka
Hiduplah indonesia raya...
Tanpa
sadar air mataku tumpah setelah lagu indonesia selesai kami kumandangkan.
Gagahnya tebing Merapi menjadi latar belakang kami melakukan upacara 17 Agustus. Rasa bangga ini
membuncah di dalam hati. Lalu pecah dalam tangisanku. Meskipun hanya beberapa
dari kami yang masih peduli akan acara seremonial sederhana seperti ini tapi
kami merasa upacara ini telah cukup membuat kami lebih mencintai negeri ini,
menjadi bagian dari negeri ini. Meskipun belum ada hala berarti yang aku berikan untuk
kemajuan negeriku, tapi aku sungguh mencintainya.
Pidato
singkat dari pembina upacara telah selesai, kami semua bertepuk tangan sambil
meneriakan kata merdeka. Setelah itu
tanpa ada yang mengkomandoi kami semua berjabat tangan satu sama lain. Rasa
haruku belum juga usai pada saat-saat itu. Ah, cengeng juga ternyata aku ini.
Malu-malu kuseka air mataku sambil tetap melanjutkan jabat tangan dengan
peserta upacara lain yang masih tersisa.
Pagi
itu jiwa nasionalismeku pecah dalam kebersamaan seremonial yang sangat
sederhana. Tak ada tim paskibraka yang berseragam lengkap dengan syal di
lehernya, tak ada regu marching band yang mengiringi kami ketika menyanyikan lagu kebangsaan. Tak ada
pemimpin upacara dengan pedang di lengannya, yang ada hanya kami sekumpulan
pemuda bau yang kumal dan kotor.
Ya, hanya kami yang
mau berlelah-lelah berjalan menanjak ke tempat dingin dengan bawaan berat di punggung kami.
Tapi, itulah kami dengan cara yang kami bisa untuk mencintai negeri ini.mencintai dengan kesederhanaan yang kami
miliki. Selamat hari merdeka Negeriku.