Entah siapa yang pertama kali memulai naik gunung di dunia ini.
Siapapun itu nampaknya patut kita berikan penghargaan yang besar.
Mendaki
gunung dapat dikategorikan ke dalam
olahraga luar ruangan yang memiliki tingkat kesulitan yang dapat dikatakan gampang-gampang
susah. Dapat dikatakan gampang karena olahraga ini hanya mengandalkan sepasang
kaki kita. Namun, dapat dikatakan susah karena medan yang akan kita hadapi
berupa alam yang tidak dapat kita prediksikan fenomenanya.
Mendaki
gunung dikatakan gampang karena manusia normal pada umumnya bisa berjalan kaki
kecuali (maaf) para penyandang cacat. Setiap orang di dalam hidupnya pasti
pernah bahkan selalu setiap saat berjalan kaki. Kecuali dalam keadaan tidur
tentunya.
Susah
karena medan yang dihadapi berupa alam yang kondisinya dapat berubah dratis
dalam hitungan detik saja. Hujan deras, badai, meletusnya gunung, kebakaran
hutan dan fenomena lainnya ini yang tidak bisa kita hindari, namun, hanya bisa
kita minimalkan dampaknya. Kita dapat meminimalkan dampaknya dengan knowledge
atau ilmu pengetahuan yang kita miliki. Ini yang terkadang disepelekan oleh para
newbie yang mencoba mendaki gunung tanpa dibekali pengetahuan yang cukup,
sehingga hal yang terlihat sepele bisa menjadi malapetaka berdampak lepasnya
jiwa dari raga (meninggal)
Mendaki
gunung adalah suatu prosesi pencarian jati diri. Ada suatu jawaban-jawaban yang
berupa pesan tak tersirat dalam sebuah pendakian. Pesan-pesan tak tersirat itu
datang dari desiran angin yang membelai dedaunan, dari gemercik air hujan yang
membasahi padang rumput, dari kicauan burung, dari fenomena munculnya sang
fajar dan masih banyak lagi.
Dari
desiran angin yang membelai dedaunan kita dapat belajar tentang sebuah
kedamaian hati. Dari gemercik air hujan yang membasahi padang rumput kita bisa
belajar tentang indahnya suatu kesetiaan sang rumput yang menunggu hujan. Dari
kicauan burung-burung di kala pagi kita dapat belajar tentang sebuah kesungguhan
hati memikul tanggung jawab. Dari mentari terbit kita bisa belajar bahwa di
suatu esok yang nanti akan tiba, ada sebuah harapan dan sebuah cita-cita.
Ada
suatu ketenangan jiwa ketika saya berada di tengah-tengah alam. Ada puisi-puisi
indah yang mengalir begitu saja dari dalam sukma ketika berada di dalam
belantara. Dan, ketika melihat keindahan ciptaannya di alam terbuka, diam yang
kita lakukan seolah menjadi puisi cinta terindah yang pernah kita buat.
Saya
selalu merasa ingin mendaki gunung ketika keramaian dan ke-glamoran kota tak
mampu lagi memberikan kenyamanan yang bisa menentramkan hati saya. Biarpun
terkadang saya butuh keramaian untuk menghibur bathin saya, namun, nampaknya
ketenangan hakiki khas pegunungan mampu memberikan saya keheningan yang bisa
meramaikan hati saya.
Ketika orang-orang
selalu mencibir saya dengan kehidupan saya yang sekarang, alam dengan tangan
terbukanya menyambut saya lewat kabutnya yang tipis dan udaranya yang jernih.
Ketika orang yang sebelumnya mengasihi saya dengan rasa cintanya yang besar
kemudian tanpa saya duga-duga sebelumnya memilih untuk pergi meninggalkan saya,
saya hanya bisa pergi mendaki gunung untuk mengobati segala kesedihan yang saya
rasakan. Nampaknya alam tak pernah alfa memberikan kasih sayangnya untuk saya
dalam bentuk keindahan yang terpancar di dalam setiap inci tubuhnya. Di
dalam dekapan rimba belantara saya seperti merasa pulang kembali ke dalam rumah
yang sudah lama saya tinggalkan. Kenyamanan serta hangatnya suasana di dalamnya
selalu saya rindukan ketika saya lama tak mengunjunginya. Andaikan saja saya
tak memikirkan apa yang ada di kehidupan sehari-hari pada umumnya di kota, saya
mungkin ingin menetap selamanya di dalam hutan belantara seperti layaknya
tarzan.