Kamis, 18 Juli 2013

Kenapa Saya Mendaki Gunung




Entah siapa yang pertama kali memulai naik gunung di dunia ini. Siapapun itu nampaknya patut kita berikan penghargaan yang besar.
                Mendaki gunung dapat dikategorikan  ke dalam olahraga luar ruangan yang memiliki tingkat kesulitan yang dapat dikatakan gampang-gampang susah. Dapat dikatakan gampang karena olahraga ini hanya mengandalkan sepasang kaki kita. Namun, dapat dikatakan susah karena medan yang akan kita hadapi berupa alam yang tidak dapat kita prediksikan fenomenanya.
                Mendaki gunung dikatakan gampang karena manusia normal pada umumnya bisa berjalan kaki kecuali (maaf) para penyandang cacat. Setiap orang di dalam hidupnya pasti pernah bahkan selalu setiap saat berjalan kaki. Kecuali dalam keadaan tidur tentunya.
                Susah karena medan yang dihadapi berupa alam yang kondisinya dapat berubah dratis dalam hitungan detik saja. Hujan deras, badai, meletusnya gunung, kebakaran hutan dan fenomena lainnya ini yang tidak bisa kita hindari, namun, hanya bisa kita minimalkan dampaknya. Kita dapat meminimalkan dampaknya dengan knowledge atau ilmu pengetahuan yang kita miliki.  Ini yang terkadang disepelekan oleh para newbie yang mencoba mendaki gunung tanpa dibekali pengetahuan yang cukup, sehingga hal yang terlihat sepele bisa menjadi malapetaka berdampak lepasnya jiwa dari raga (meninggal)
                Mendaki gunung adalah suatu prosesi pencarian jati diri. Ada suatu jawaban-jawaban yang berupa pesan tak tersirat dalam sebuah pendakian. Pesan-pesan tak tersirat itu datang dari desiran angin yang membelai dedaunan, dari gemercik air hujan yang membasahi padang rumput, dari kicauan burung, dari fenomena munculnya sang fajar dan masih banyak lagi.
                Dari desiran angin yang membelai dedaunan kita dapat belajar tentang sebuah kedamaian hati. Dari gemercik air hujan yang membasahi padang rumput kita bisa belajar tentang indahnya suatu kesetiaan sang rumput yang menunggu hujan. Dari kicauan burung-burung di kala pagi kita dapat belajar tentang sebuah kesungguhan hati memikul tanggung jawab. Dari mentari terbit kita bisa belajar bahwa di suatu esok yang nanti akan tiba, ada sebuah harapan dan sebuah cita-cita.
                Ada suatu ketenangan jiwa ketika saya berada di tengah-tengah alam. Ada puisi-puisi indah yang mengalir begitu saja dari dalam sukma ketika berada di dalam belantara. Dan, ketika melihat keindahan ciptaannya di alam terbuka, diam yang kita lakukan seolah menjadi puisi cinta terindah yang pernah kita buat.
                Saya selalu merasa ingin mendaki gunung ketika keramaian dan ke-glamoran kota tak mampu lagi memberikan kenyamanan yang bisa menentramkan hati saya. Biarpun terkadang saya butuh keramaian untuk menghibur bathin saya, namun, nampaknya ketenangan hakiki khas pegunungan mampu memberikan saya keheningan yang bisa meramaikan hati saya.
               

Ketika orang-orang selalu mencibir saya dengan kehidupan saya yang sekarang, alam dengan tangan terbukanya menyambut saya lewat kabutnya yang tipis dan udaranya yang jernih. Ketika orang yang sebelumnya mengasihi saya dengan rasa cintanya yang besar kemudian tanpa saya duga-duga sebelumnya memilih untuk pergi meninggalkan saya, saya hanya bisa pergi mendaki gunung untuk mengobati segala kesedihan yang saya rasakan. Nampaknya alam tak pernah alfa memberikan kasih sayangnya untuk saya dalam bentuk keindahan yang terpancar di dalam setiap inci  tubuhnya.    Di dalam dekapan rimba belantara saya seperti merasa pulang kembali ke dalam rumah yang sudah lama saya tinggalkan. Kenyamanan serta hangatnya suasana di dalamnya selalu saya rindukan ketika saya lama tak mengunjunginya. Andaikan saja saya tak memikirkan apa yang ada di kehidupan sehari-hari pada umumnya di kota, saya mungkin ingin menetap selamanya di dalam hutan belantara seperti layaknya tarzan.