Jumat, 19 September 2014

Hidup Bukan Sekedar Travelling atau Naik Gunung

Pagi ini hujan tak juga mau berhenti dari sore hari. “mungkin langit sedang bersedih” gumamku. Basah mendominasi seluruh area kampus Universitas Negeri Padang. Pucuk dedaunan mulai menjadi limbung terus-terusan diguyur hujan. Tanah becek dan terdapat banyak genangan setinggi kira-kira 5 sampai 15 centimeter di tempat yang memiliki cekungan dan tidak memiliki resapan yang baik.

Aku berdiam diri didepan secretariat mahasiswa pecinta alam dan lingkungan hidup (mpalh) sambil sibuk memainkan laptop yang dari malam tadi ramah menemaniku. Kubalas mention yang masik di akun twitterku. Sesekali ketika jenuh kubuka halaman youtube dan memainkan beberapa lagu. Dari yang bernada penuh romantisme di dalamnya, penuh dengan aura semangat di warna music nya serta sesekali lagu-lagu tidak kukenal penyanyinya juga kusetel. Berharap bosan hilang.

Ini memasuki bulan ketiga aku di tanah sumatera. Setelah estafer dari lampung kemudian ke Palembang dan berakhir di Padang. Awalnya aku berteman dengan Joel di perjalananku. Namun, di lampung kita berpisah. Ia menuju timur untuk mendaki gunung RInjani dan aku lebih terus ke barat berharap bisa kutapakkan kakiku sejauh mungkin menuju nol kilometer atau bahkan ke Pulau Weh!

Di lampung aku betah selama kurang lebih tiga minggu termasuk di dalamnya selama lima hari di pulau Pisang. Aku tidur di secretariat Mapala Unila. Disana kukenal nama-nama orang-orang baik yang kini secara sepihak sudah ku anggap saudaraku sendiri. Ada Kiray, Lowo, Jangkrik, Bowline, Bawel, Aris dan lainnya. Dan juga beberapa para sepuh anggota mapala Unila yang sempat aku kunjungi sewaktu diajak kiray dan lowo.

Di kalangan Mapala di Lampung sebutan untuk abang itu “kyai” diucap seperti kita menyebut kyai atau pemimpin agama yangs sering berdakwah atau menjadi imam di mesjid. Sedangkan untuk kaka wanita biasa dipanggil “kanjeng”. Memang terdengar lucu dan aneh. Namun, itulah kebiasaan dan adat istiadat di sana. Sampai akupun sudah terbiasa memanggil dengan Yai atau Jeng saja.

Semakin lama aku berjalan jauh sampai ke Padang secara estafet dari Jakarta aku menyimpulkan satu kalimat yang awalnya tak pernah aku fikirkan sedikitpun. Hidup bukan hanya sekedar jalan-jalan atau naik gunung. Awalnya aku selalu beranggapan bahwa naik gunung dan travelling adalah bukan lagi sebagai hobi melainkan lifestyle. Di sini aku tersadar. Ada hal-hal lain yang perlu kita fikirkan selain hal tadi. Kalian akan percaya hal itu ketika sudah lama sekali kalian pergi jauh dari rumah kalian. Aku merasakan ini.



Senin, 08 September 2014

JIWA NASIONALISMEKU MEMBARA DI ATAP TERTINGGI SUMATERA SELATAN


JIWA NASIONALISMEKU MEMBARA DI ATAP TERTINGGI SUMATERA SELATAN

“Perjalanan turun antara pintu rimba sampai titik awal pendakian seolah jalanan panjang yang tak pernah berujung. Berjalan hanya sekitar setengah kilometer, namun seolah sudah berjam-jam aku melalui jalan itu. Penyebab itu semua karena kebodohan dan kesombonganku yang merasa seolah telah sering mendaki gunung. Safety procedure pendakian tak pandang bulu. Semakin kita sering mendaki gunung seharusnya kita ebih paham apa yang boleh dan tak boleh kita lakukan. Aku dengan jumawa dan kepala besar mendaki gunung Dempo hanya beralaskan sendal gunung jepit gunung tanpa penopang di belakangnya. Ah sial, celana pendekku sudah tak berbentuk lagi penuh dengan lumpur. Jangan tanya berapa banyak luka yang aku dapati. Hampir sekujur tubuhku berasa memar dan perih dimana-mana akibat terjatuh di jalanan licin antara pos pintu rimba sampai titik awal pendakian..”

             Gunung dempo gagah berdiri ketika pagi sekali kami telah memulai pendakian dari pintu perkebunan teh milik PTPN 7. Sisa kantuk semalam masih terasa di belakang mata. Wajar, tiba di gerbang perkebunan ketika hari terlalu pagi, sekitar pukul 3 dini hari. Perjalanan selama 6 jam dari Palembang serasa begitu melelahkan dengan kendaraan mini bus seperti metromini kalau di Jakarta.  Senyenyak-nyenyaknya tidur di dalam kendaraan pasti tak pernah selelap di atas kasur.  Guncangan bus karena tak sengaja melewati jalana berlubang, berhenti mendadak, dan teriakan kernet karena telah tiba di salah satu tempat menjadikan tidur di dalam bus seolah hanya tidur melek ayam.

                Waktu yang dibutuhkan menuju titik awal pendakian kampung IV sekitar 3 jam jika berjalan kaki, namun beruntung di tengah perjalanan kami mendapat tumpangan pick up menuju persimpangan kampung II dan kampung IV. Meskipun masih jauh menuju kampung  IV setidaknya kami bisa hemat tenaga sekitar satu jam.

                Tiba di kampung IV kami disambut oleh kabut tipis yang turun perlahan dari atas perbukitan. Perlahan hijaunya perkebunan teh digantikan dengan putihnya kabut. Hawa sekitar menjadi terasa sejuk. Namun, ketika berdiam diri saja tanpa melakukan aktivitas apapun badan menggigil kedinginan. Kuambil jaket tipis dari dalam cariel lalu masuk warung bergabung dengan teman-teman yang lain. Rencananya esok hari kita baru akan benar-benar melakukan pendakian menuju puncak Dempo. “untuk sementara kita buat camp di resort gunung Dempo di samping kali!” tegas Wa Yeng yang menjadi leader dalam pendakian kali ini.

                Setelah mendirikan tenda dan makan siang kami hanya mengahabiskan waktu dengan mengobrol ngalor-ngidul bersama teman-teman pendaki yang lain. Ada yang spesial dalam prosesi makan ketika di gunung yang biasa kita lakukan. Makan bersama di atas daun pisang atau di atas selembaran plastik menjadi wajib dalam setiap pendakian kami. Selain untuk lebih mempererat keakraban diantara kami juga bisa menghemat piring dan tak perlu repot-repot untuk mencucinya.

                Malam itu ribuan gemintang mengintip di sela ranting-ranting pohon yang ada di sekitaran resort, dingin sudah pasti. Temanku Taping membuat api unggun sedangkan aku hanya diam sambil menemani di balik hangatnya selimut. Memang terlihat curang dan egois. Tapi dalam pendakian kali ini aku berperan sebagai tamu. Hehe. Malam gelap dan dinginnya udara pegunungan meninabobokan kami dalam kehangatan. Suara binatang-binatang malam yang perlahan namun syahdu mengantar kami lebih jauh menuju alam mimpi.

                Malam berlalu dan suara burung-burung riuh menemani kami membuka mata. Sambil merentangkan badan dan masih malas terbangun dalam kantuk, aku paksakan diriku keluar dari balik hangat tenda. Kuhirup udara pagi itu sambil terpejam. Ribuan syukur menggemba dari balik hatiku dalam kebisuan. “terima kasih tuhan atas keindahan ini” gumamku. Yang lain berangsur bangun dan  pagi itu kami lewati dengan tugas masing-masing. Tugasku pasti memasak dan urusan dapur lainnya ditemani ketua Mapala Fakultas Pertanian Unsri, Cungkring. Yang lainnya berkemas dan merapikan perlengkapan yang nanti akan dibawa. Sisanya dititipkan di warung Ayah.

                Perjalanan dari titik awal pendakian menuju pintu rimba terlihat biasa layaknya trek pendakian gunung-gunung di pulau Jawa. Masuk shelter satu trek mulai menanjak dan becek oleh sisa hujan semalam. Hal ini terus sama terjadi sampai kami tiba di shelter dua. Jalanan menanjak dengan sedikit jalanan datar berulang terjadi. Hutan jenis hujan tropis yang lembab dan rapat menemani kami di sepanjang trek. Estimasi watu yang diperlukan untuk tiba di shelter cadas dari shelter dua sekitar dua jam jika dalam kondisi prima. Namun, kita sebagai manusia hanya bisa berencana. Belum sampai di cadas hujan jatuh dengan riuh dan lincahnya. Kami terpaksa harus mendirikan flysheet untuk menghindari hujan. Mungkin hal ini kaan memakan waktu karena kita istirahat sampai hujan selesai turun. Ini lebih baik ketimbang kita terus berjalan tapi tak satupun dari kami membawa jas hujan.

                Tiba di cadas hari telah gelap. di belakang kami, indahnya kemerlip lampu  kota Pagar Alam seolah menjadi obat pelepas lelah dan frustasi karena hampir dua jam lebih kita berjalan namun belum jua menginjakan kaki di titik tertinggu gunung Dempo.  Badan seolah lelah untuk berjalan, namun semakin lama berdiam diri tubuh akan semakin dingin terhempas angin lembah yang menusuk.

                Tiba di puncak Dempo bukan menjadi tujuan utama kami, setelah itu kita perlu berjalan turun sekitar sepuluh menit menuju Pelataran, tempat dimana kami bisa mendirikan tenda dan mengambil air bersih untuk keperluan kami. Tepat pukul sembilan lebih tiga puluh menit waktu gunung Dempo kami tiba di Pelataran. Rasa dingin, lelah, lapar bercampur aduk menjadi satu. Namun semakin malas kita bergerak, dingin menggerogoti bagian tubuh kami secara perlahan.

                Tenda berdiri dan makanan pengganjal perut sudah tersaji. Satu persatu mengabil makan dengan piring lantas masuk kembali ke dalam karena enggan untuk keluar dari hangatnya tenda. Setelah selesai makan aku masih berdiam di luar tenda depan kompor menyala bersama Gondrong. Yang lainnya telah berada di dalam tenda dan mulai terdengar dengkuran halus dari salah satu tenda yang kami dirikan. Dini hari sekitar pukul tiga aku masuk ke dalam tenda. Aku puaskan berlama-lama menatap koloni bintang yang jumlahnya bermilyaran tanpa gangguan polusi udara maupun polusi cahaya dari perkotaan. Meskipun dingin melanda sekujur tubuhku, namun rasa rindu untuk berbincang secara imajiner dengan keindahan gugusan gemintang  seolah lebih besar dan mengalahkan dingin.

                Suasana malam di dalam dekapan dingin tempat seindah pegunungan merupakan hal yang selalu aku nantikan. Gondrong telah masuk ke dalam tenda. Aku  berdiam diri sendiri di depan tenda sambil menatap jauh ke atas galaksi yang gelap, lagu-lagu syahdu dari band indie Payung Teduh kusetel pelan sekali, agar hanya aku yang bisa mendengarnya. Juga agar tak mengganggu kemeriahan malam yang sunyi itu.

Lamunanku jauh menerobos waktu, sampai tiba di masa beberapa tahun ketika diriku masih bersama dengan dia. Juga dalam suasana malam di atas ketinggian. Jemari kita saling menggenggam, mata kita sibuk melihat jauh ke atas. Meskipun kedua pasang mata kita tak bertatap namun sesungguhnya tatap kita bertemu di sana, di celah gemintang yang gelap. Perlahan ia rebah di pundakku, harum farfumnya menerobos masuk ke dalam otakku melalui indera hidungku. Ketika aku tersadar aku hanya berteman sepi. Berteman nyanyian angin malam dan sayup lagu Payung Teduh. Oh tuhan, sungguh indah masa-masa itu.

***
         
       Bergegas kami berkumpul di tengah tiang bendera kecil berukuran 2 x 1 meter di Pelataran gunung Dempo. Teman-teman lain sudah berteriak memanggil teman-teman yang lain untuk segera berkumpul, naas yang berkumpul dan mendekat ke arah tiang bendera hanya beberapa saja. “ayo bang kita upacara, setahun sekali doang bang, kapan lagi!!!” teriakku sambil berlari ke arah kerumunan. Nihil, tak juga bertambah kerumunan itu. Hanya beberapa orang yang medekat. Sisanya malah sedang asyik di depan tendanya masing-masing. Ada juga beberapa rombongan yang bermain gitar di depan tenda mereka, hatiku miris dan sedih.

         Pemimpin upacara menyiapkan barisan kemudian disusul oleh pembina upacara. Bagian demi bagian dalam upacara kami lalui. Pembacaan UUD 1945, pancasila, teks proklamasi, sampai tiba saatnya kami menyanyikan lagu indonesia raya.

                Indonesia raya merdeka, merdeka
                Tanahku negeriku yang kucinta,
    Indonesia raya merdeka, merdeka
    Hiduplah indonesia raya...

Tanpa sadar air mataku tumpah setelah lagu indonesia selesai kami kumandangkan. Gagahnya tebing Merapi menjadi latar belakang kami melakukan upacara 17 Agustus. Rasa bangga ini membuncah di dalam hati. Lalu pecah dalam tangisanku. Meskipun hanya beberapa dari kami yang masih peduli akan acara seremonial sederhana seperti ini tapi kami merasa upacara ini telah cukup membuat kami lebih mencintai negeri ini, menjadi bagian dari negeri ini. Meskipun belum ada hala berarti yang aku berikan untuk kemajuan negeriku, tapi aku sungguh mencintainya.

Pidato singkat dari pembina upacara telah selesai, kami semua bertepuk tangan sambil meneriakan kata merdeka.  Setelah itu tanpa ada yang mengkomandoi kami semua berjabat tangan satu sama lain. Rasa haruku belum juga usai pada saat-saat itu. Ah, cengeng juga ternyata aku ini. Malu-malu kuseka air mataku sambil tetap melanjutkan jabat tangan dengan peserta upacara lain yang masih tersisa.

Pagi itu jiwa nasionalismeku pecah dalam kebersamaan seremonial yang sangat sederhana. Tak ada tim paskibraka yang berseragam lengkap dengan syal di lehernya, tak ada regu marching band yang mengiringi kami ketika menyanyikan lagu kebangsaan. Tak ada pemimpin upacara dengan pedang di lengannya, yang ada hanya kami sekumpulan pemuda bau yang kumal dan kotor. Ya, hanya kami yang mau berlelah-lelah berjalan menanjak ke tempat dingin dengan bawaan berat di punggung kami. Tapi, itulah kami dengan cara yang kami bisa untuk mencintai negeri ini.mencintai dengan kesederhanaan yang kami miliki. Selamat hari merdeka Negeriku.

Senin, 04 Agustus 2014

Batas Balik

Malam masih sama gelapnya dengan hari kemarin saat aku menghirup nafas Ibukota. Yang lain hanya langkahku yang sedikit santai dan tanpa beban meskipun jutaan belenggu dan beban menumpuk di pundak rapuh ini.

Roda-roda besar mulai menggelindang di atas kerasnya aspal perjalanan antara Ibukota menuju daerah di barat pulau Jawa, Merak. Sumatera telah lantang memanggil jiwa kami untuk bertemu dan menyaksikan dengan langsung apa yang dimiliki olehnya. ya lantas, panggilan itu kami gubris dan kami tengelam di dalamnya.

mungkin hal yang paling sukar mengalirkan bergudang cerita dan kisah ke dalam sebuah larik, namun segala apa yang terdapat di dalam isi kepala harus sesegera mungkin kutuang dalam sederetan kata yang memiliki arti. Takut nanti malah bias dan hanya terkenang di kala diri ini jauh menyendiri dari waktu sekarang.

kamu bisa mengambil hal-hal yang tak pernah sedikitpun kamu bayangkan sebelumnya selama kamu sedang menempuh suatu jalan. saya sengaja tidak memakai kata menemukan karena menemukan hanya sebatas memperoleh sesuatu lantas tahu, kata mengambil bisa diekspektasikan sebagai sebuah proses pengaplikasian apa yg kita temukan.

penjabaran apa yg saya dapatkan di dalam jalan yang saya tempuh mungkin akan lebih jauh dahsyat maknanya dari apa yang saya tulis di sini. kita pahami bahwa kata memiliki keterbatasannya dalam menyampaikan sebuah rasa yang ada.

dari setiap kisah yang saya temukan di sumatera saya ambil suatu garis besar yaitu:

mungkin, pola fikir manusia memang kompleks dan butuh suatu masa yang panjang dalam menganalisanya. tapi, serumit apapun mereka kita pasti bisa menyimpulkan sedikit dari generalisasi dan persamaan-persamaan yang ada.

perjalanan menjadikan kamu sedikit lebih dewasa dalam menyikapai apapaun. saya katakan sedikit karena dari sedikit itulah akan timbul hal yang banyak. ya meskipun ada beberapa dari kita yang akan langsung berubah berbalik dari apa yang sebelumnya difikirkan seteah melakukan hanya saru perjalanan dalam hidupnya.

saya menguti sebuah kalimat dari tulisan yang pernah saya baca, "perjalanan melihat banyak keindahan alam adalah cara kecil menghargai diri sendiri!"

***




Minggu, 15 Juni 2014

Sepucuk Surat Untuk Suamiku

tulisan ini saya buat karena berulang kali sedih mendengar salah seorang keluarga yang selalu sabar menghadapi kelakuan suaminya yang (nakal)....


suamiku yang aku hormati,
kutahu kini kecantikanku memudar seiring dengan berjalannya waktu. namun, aku sadari rasa hormatku kepadamu tak pernah memudar sedikitpun. aku menghormatimu sebagai imamku yang menuntunku di dunia dan akhirat nanti.

suamiku,
aku merasa bersalah telah membuat kebahagian diantara kita kurang sempurna karena nampaknya tuhan belum juga memberikan kita keturunan. aku selalu bersedih di tiap malam manakala aku terbangun dan kutatap engkau ketika engkau tertidur pulas di sampingku.

aku mencintaimu suamiku, mencintaimu dengan segala kekurangan yang (kita) miliki selama ini. aku tahu ada wanita lain di luar sana yang kini menarik hatimu. aku terkadang ingin menangis dan seolah pergi meninggalkanmu. tapi, aku tak pernah sanggup untuk melakukan itu semua.

aku selalu cemburu setiap kali engkau pergi ke luar dari rumah. aku cemburu karena kutahu di luar sana engkau menemui dia.

kini aku serahkan semua pada kuasa tuhan. semua yang terjadi diantara kita biarlah terjadi atas kehendaknya. aku akan mencoba untuk sabar, meskipun air mata yak kuasa kubendung lagi.

Kamis, 06 Maret 2014

Jakarta, 7 Maret Dini hari 2014

Penyesalan selalu datang di episode akhir hidup manusia. ia datang ketika semua seolah sudah tidak bisa diperbaiki lagi seperti sebelum semuanya terjadi hari ini.

aku tersudut di ruangaku tersudut di ruang kosong dengan linangan air mata. mataku memerah saga. terlalu banyak air mata penyesalan yang telah terurai. tanganku memeluk lutut dan memandangi tembok retak yang catnya telah terkelupas dimana-mana. yang kulihat adalah tembok, mencari sebuah pembenaran atas segala sikap dan perbuatan yang elah menjadi rekaman yang tak bisa diedit lagi atau dihilangkan bagian-bagian di dalamnya. yang kulihat bukan sebuah pembenaran diri, melainkan segala penyesalan yang terlanjur menjadi sebuah kebodohan yang kini aku harus tanggung resikonya.

oh tuhanku,
ternyata dalam keadaan tersudut seperti ini baru kusebut namamu, terlihat berat aku mengucap agung namamu. tapi itulah kejujuran terjujur yang muncul dari keegoisanku memandang arti namamu. permukaan hatiku yang angkuh dan penuh dengan kesombongan ternyata masih juga mengakui kekuatan namamu yang selama ini aku tepiskan.




Jumat, 21 Februari 2014

Aku Pendamba Senja

Langit menjadi lain, Angin seolah mengalir

Seperti menina bobokan si kecil yang sedang rewel, Pelan sekali

Di ujung lelah, setelah segan menatap nanar pijar sang siang



Langit bernoktahkan Jingga

Riak awan yang menggumpal terpapar sinar matahari yang mulai lelah.



Horison merefleksikan rona keemasan

Membuat garis imaji yang tak berujung

Jingga berpendar, memanjakan mata dan jiwa



Bibir terdiam, terpagut dalam takjub

Teriakan syukur yang berkecamuk dalam diam



Kegelapan, cepat sekali melumat terang.

Meninggalkan jejak rindu yang selalu ingin bertemu lagi.



Dalam semburat Jingga Senja, kuukir rindu

Kuterawang jauh menembus horison

Kutunggu engkau sang dewi jingga

Dalam kelabu senja di atap langit lain.

Hotel Nyaman Itu Bernama Sekretariat


    Dalam salah satu albumnya, sang legenda Bang Iwan Fals pernah menuliskan sebuah lagu yang menceritakan tentang  para buruh yang ingin berlibur bersama keluarga tercintanya. Meskipun hanya satu kali dalam satu tahun, tetapi bang Iwan menerangkan dalam liriknya bahwa liburan itu penting. Lagu itu berjudul Libur Kecil Kaum Kusam.

    Memang setiap orang siapapun itu, tanpa mengenal latar belakang, pekerjaan, budaya, agama dan lainnya pasti menyukai liburan. Entah caranya seperti apa, kemana tujuan mereka, tapi mereka butuh liburan setelah sekian lama bergelut dengan urusan rutinitas yang membelenggu jiwa serta otak mereka. Saya akui saya termasuk di dalam golongan manusia dengan kategori seperti apa yang diceritakan bang Iwan dalam judul yang tadi saya sebutkan di atas.

    Untuk berpergian dengan jarak yang dapat ditempuh dalam hitungan jam, mungkin kita hanya akan menghitung biaya untuk bahan bakar atau ongkos transportasi, biaya masuk lokasi wisata,  makan dan oleh-oleh jika kita memang merasa itu penting. Namun, untuk ukuran jarak yang membutuhkan waktu berhari-hari ada biaya tambahan lain yang tak bisa kita anggap remeh, yaitu urusan Tidur dan inap menginap.

    Ukuran saku saya memang sama dengan ukuran saku para teman-teman yang mungkin sekarang sedang membaca tulisan saya ini. Namun, isinya itu loh yang berbeda. Untuk ukuran (isi) kantong saya yang pas-pasan, biaya untuk inap-menginap itu selama sedang dalam tugas (baca:liburan)  perlu saya siasati agar saya mampu bertahan lebih lama, dengan jumlah tempat destinasi yang bertambah. Atau ketika saya ambil dana yang sekali lagi saya miliki itu sangat minim untuk urusan inap-menginap dari biaya perjalanan saya, saya akui mungkin saya akan pulang dengan berjalan kaki.

    Saya pernah beberapa kali tidur di trotoar atau di depan sebuah toko. Tapi ini tidur hanya beberapa jam saja karena sedang menunggu kendaraan. Pernah juga saya tidur di Mushala Pom bensin. Pernah tidur di stasiun kereta api. Pos keamanan juga pernah menjadi lapak saya untuk tidur. Orang-orang yang baru saya kenal juga terkadang pernah saya repotkan untuk menginap beberapa hari di rumahnya. Dan yang tersering adalah numpang tidur di sekretariat pecinta alam di manapun saya berada yang memiliki sekretariat. Entah itu Mapala (mahasiswa Pecinta Alam) ataupun KPA (komunitas Pecinta Alam)

    Sekretariat pecinta alam, entah itu Mapala maupun KPA menjadi tempat favorit saya dalam urusan inap menginap selama saya melakukan perjalanan. Selain menghemat biaya, tidur di sekretariat membuat  saya seolah merasakan sedang berada di rumah sendiri. Tak hanya itu, penghuni sekretariat merupakan contoh manusia-manusia yang menurut saya memiliki selera humor yang tinggi, baik dan ramah. Meroko terkadang dari bungkus yang sama. Hanya terkadang karena kalau beli rokok perbungkus pasti takkan awet lama karena yang meroko jenis manusia dengan paru-paru seperti kereta api. Tak hanya merokok, terkadang makanpun kita berbagi bersama sekalipun hanya dengan lauk seadanya. Sungguh kebersamaan yang indah dan takkan pernah terlupa.

    Saya sangat suka sekali pake banget tidur di sekretariat, meskipun dan bagaimanapun kondisi sekretariat itu. Bantal yang berbagi, beralaskan matras lipat, berselimutkan sarung atau sleeping bag, kipas angin yang sudah hilang penutup depannya, nyamuk-nyamuk kebonnya yang ganas-ganas, tidur berdesak-desakan. Tapi kondisi-kondisi menyedihkan seperti itu lebih saya nikmati dan takkan pernah ada gantinya ketimbang saya tidur di hotel mewah dengan kualitas bintang sekalipun. So wonderful life.

    Bukan hanya itu, sahabat-sahabat kita penghuni sekretariat itu sangat senang mengantar kita ke tempat-tempat indah di daerah yang kita kunjungi. Meskipun dengan motor yang tak ada rem depan dan bunyinya sudah seperti mesin bubut yang berisik. Itu juga bisa meminimalkan bugdet kita selama dalam perjalanan. Ketimbang kita harus naik angkutan ke destinasi yang ingin kita kunjungi. Otomastis pilihan pertama itu jauh lebih effisien dan low cost. 

    Namun, ada kalanya kita kewalahan oleh kenakalan anak remaja yang juga mengendap seolah menjadi tradisi di sekretariat Mapala maupun sekretariat KPA. Tapi ya itu, kenakalan yang satu ini terkadang yang malah menyatukan kita. Karena menyatukan inilah yang akhirnya membuat saya juga ikut-ikutan nakal.  Baru datang sudah diajak nakal, bahkan sebelum pulang pun kita seolah dibuat nakal sampai lupa dan dipaksa untuk pulang nanti-nanti saja. Nakal yang saya ceritakan diatas tak perlu ditiru kalau anda emang orang baik-baik saja. Ya kalau anda emang mau nakal ya silahkan. Namanya anak laki-laki wajar lah kalau nakal sedikit.

    Di akhir tulisan saya ingin mengucapkan terima kasih yang takkan pernah bisa saya balas kepada saudara-saudara saya di manapun engkau berada yang pernah mau saya repotkan. Sungguh tiada hari yang lebih indah dari masa-masa kita menyanyi bersama dengan suara kencang-kencang meskipun sedang dalam kondisi nakal. Persahabatan diantara sesama pecinta alam dan penempuh rimba yang saya rasakan sungguh tiada duanya.  Dan kini saya tak pernah merasa takut ataupun risau manakala saya kehabisan ongkos dimanapun saya berada. SALAM LESTARI